Kisah Kecil dari Mereka yang Terbuang


Beberapa waktu lalu, menjelang 30 September, Yahoo! Indonesia mengundang komentar dan tanggapan dari pembaca soal Gerakan 30 September 1965. Sejarah atau cerita yang terjadi pada dan sesudah tanggal itu layak disebut misteri terbesar Indonesia sejak keruntuhan Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, apa yang terjadi pada dan sesudah 30 September 1965 berupaya 'dijelaskan' lewat pemutaran film 'Pengkhianatan G 30 S/PKI' yang disutradai oleh Arifin C Noer. Di dalam film tersebut dan lewat pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, kita semua diajarkan mengenai satu versi sejarah yang absolut akan apa yang terjadi.

Setelah kejatuhan Orde Baru, kita pun mendengar berbagai versi lain, cerita-cerita dari mereka di masyarakat yang hidupnya dijalani dengan stigma sebagai 'bekas anggota PKI' terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut.

Kami pun berupaya menanyakan pada pembaca Yahoo! Indonesia, apa yang mereka pikirkan ketika mendengar kata 'komunisme' atau PKI? Apa yang mereka yakini terjadi setelah 30 September 1965? Dan percayakah mereka pada penjelasan versi pemerintah yang diberikan selama ini?

Salah satu hasil survey kami adalah, ada 58% pembaca Yahoo! Indonesia yang tidak percaya dengan penjelasan sejarah G 30 S versi pemerintah. Untuk bisa menjawab, pembaca harus terdaftar dan login ke akun Yahoo! mereka. Sampai survey berakhir pada 22 September 2011, ada 4791 orang yang berpartisipasi. Sekitar 19% (891 orang) mengaku percaya dengan penjelasan versi pemerintah, sementara 16% (750 orang) menjawab 'menunggu penjelasan lebih lanjut', dan 7% (348) menjawab 'tidak tahu'.

Sementara pada jajak pendapat lain yang kami adakan lewat artikel "Pertanyaan Berulang di Akhir September", kami menanyakan, apakah PKI masih menjadi ancaman bagi bangsa? Ada 56% yang menjawab tidak, dan sisanya, 44% menjawab ya.

Banyak pembaca kami yang menganggap bahwa apa yang berawal pada 30 September 1965 adalah buah dari pertentangan politik, baik itu kepentingan asing yang berusaha memprivatisasi aset-aset di Indonesia, kepentingan antara elite militer di angkatan bersenjata, penggulingan presiden, sampai pertentangan kepentingan asing dampak dari berlangsungnya Perang Dingin.

Tapi banyak juga pembaca yang menginginkan sebuah penjelasan logis dari pemerintah kini akan apa yang terjadi di masa lalu. Seperti yang dikatakan Lu Ay, "G 30 September 1965 sebagai suatu peristiwa harus ditulis secara jujur, agar bangsa ini terbiasa menerima informasi yang benar."   

"Saya setuju apa yang dikatakan oleh Asvi Warman Adam, bahwa mengenai siapa pelaku G30S banyak melibatkan orang, dan banyak versinya, tidak bisa bahwa sebuah organisasi dihukum telah melakukan itu. Padahal dalam peristiwa itu banyak terlibat unsur PKI, tentara, masyarakat sipil, dll. Kita menunggu para sejarawan menuliskan peristiwa itu sebagai bgian dari rentetan peristiwa nasional dalam sejarah Indonesia."

Mudjianto Mw juga mengatakan hal yang sama, "Saya yang lahir sebelum G 30 S 1965 sangat ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa ini dan di mana SUPERSEMAR sekarang ini? Dan apa dosa-dosa pengikut PKI kok semuanya dimusnakan? Setahu saya, sebab waktu itu apabila tidak ikut PKI, tidak mendapatkan pekerjaan. Sama halnya dengan Orde Baru dulu, yang tidak masuk organisasi tertentu juga akan tersisih."

Jika menunggu penjelasan dari pemerintah akan peristiwa G 30 September 1965 sudah tidak memungkinkan, ada satu lagi yang bisa difokuskan. Yaitu permintaan maaf dari pemerintah Indonesia serta pemulihan nama baik mereka-mereka yang tanpa bukti jelas keterlibatannya, harus hidup dengan stigma 'bekas anggota PKI'.

Beberapa pembaca kami mengirim contoh-contoh kasus tersebut. Seperti yang dikirim oleh Rdbmanze, ia bertanya, seberapa kita semua tahu akan beban yang harus dipikul oleh keluarga mantan anggota PKI.

"Tidak semua orang-orang yang masuk blacklist adalah benar-benar anggota PKI. Ada yang ditulis karena berdasarkan ketidaksenangan, kecemburuan sosial. Ada seorang guru SD di kampung saya, yang selama hidupnya hanya mengabdi pada sekolah. Karena ada seseorang yang merasa sirik terhadap guru tersebut, maka dilaporkanlah si guru ke Koramil setempat sebagai simpatisan PKI. Alhasil ditangkaplah beliau."

"Seberapa banyaknya beliau membantah dan mengelak sampai menghadirkan saksi, tidak dapat membantu beliau keluar dari daftar hitam PKI. Sekali PKI tetap PKI. Setelah ditangkap beberapa minggu Kemudian keluar surat pemecatan dari Dinas Pendidikan setempat dan sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah bisa mengajar lagi dan jadi guru di sekolah manapun di negeri ini. Keluarga beliau pun jadi korban, anak-anak beliau tidak diterima di sekolah negeri manapun, bahkan di perguruan tinggi negeri."

Dia bukan satu-satunya pembaca kami yang mengirim cerita seperti itu. Ada juga, Edi. "Di sini saya mewakili bapak saya dan pada waktu itu tercatat sebagai pegawai Dinas PU Jawa Tengah. Sejak adanya kejadian G 30 S PKI, beliau diberhentikan sementara tanpa mendapatkan gaji dan lainnya satu sen pun dari instansi terkait."

"Dan sudah jelas beliau tidak terlibat dengan peristiwa tersebut, sampai saat ini beliau ingin memperjuangkan haknya yang sampai saat ini tidak terlaksana, atau hak beliau untuk mendapatkan kehidupan yang layak sebagai pegawai PU. Belum lama ini saya sudah coba datang ke instasi terkait sewaktu beliau bekerja tapi jawabannya mengecewakan sekali. saya berkeinginan adanya orang atau instansi manapun untuk bisa membantu dalam memperjuangkan yang semestinya menjadi hak orang tua saya."

Ini baru contoh-contoh kecil akan perampasan hak mencari penghidupan yang terjadi akibat stigma PKI. Belum lagi mereka yang harus diadili dan dipenjara tanpa bukti-bukti kuat akan keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S. Atau malah, mereka yang harus menjadi korban jiwa atas nama pembersihan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar