Merah Putih di Pertambangan


Isu apa yang selalu muncul seputar peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia? Tak lain adalah tentang kemerdekaan itu sendiri, serta rasa nasionalisme. Benarkah kita sudah merdeka sepenuhnya?

Banyak yang bilang kita belum merdeka. Salah satu argumen yang diajukan adalah masih tingginya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing. Di bidang energi, modal asing masih kokoh menjejakkan kakinya di Indonesia.

Pada zaman penjajahan, Indonesia tentu diam saja ketika warga Belanda, Aelko Jans Zijlker, berhasil mengeluarkan kandungan minyak di Telaga Said, Pangkalan Brandan, Sumatera Utara pada 1885. Inilah untuk pertama kalinya minyak bumi diproduksi di Indonesia.

Lebih dari 100 tahun sejak penemuan tersebut, peran perusahaan nasional dalam pengelolaan minyak dan gas bumi ternyata masih sangat terbatas.  Ladang minyak dengan cadangan terbesar di Riau — yang produksinya masih mencapai 400 ribu barel per hari — berada dalam dekapan Chevron (Amerika Serikat) selama lebih dari 40 tahun.

Lalu, Blok Cepu mayoritas masih dikuasai ExxonMobil (Amerika Serikat). Ladang Gas Tangguh oleh British Petroleum (BP) serta Blok Masela oleh Inpex (Jepang). 

Masih ada pemain lain yang meladang di Indonesia seperti Santos (Australia), Talisman (Kanada), ENI (Italia), dan Total (Prancis). Belum lagi yang melakukan ritel minyak dan gas seperti Shell (Inggris-Belanda) dan Petronas (Malaysia).

Untuk gas bumi, kini Total yang menjadi produsen gas terbesar di Indonesia. Perusahaan asal Prancis ini telah beroperasi sejak 1967 di lepas pantai Kalimantan Timur dengan produksi sekitar 2,6 miliar kaki kubik per hari.

Di pertambangan mineral pun tak jauh beda. Ladang emas terbesar di Indonesia, di Papua masih dikuasai Freeport Mc Moran (Amerika Serikat). Lalu ada Newmont (Amerika Serikat)  yang juga mendulang emas di Batu Hijau, Nusa Tenggara dan sebelumnya di Buyat, Minahasa. Serta, ada Vale Inco mencari nikel di Sulawesi. Rio Tinto (Australia) pun pernah mendapatkan emas di Kalimantan.

Salah satu faktor yang membuat pemain asing leluasa masuk ke Indonesia adalah kemampuan modal dan teknologi mereka, yang belum bisa diimbangi perusahaan lokal.

Perusahaan nasional saat ini tentu saja sudah berkembang, dan mampu secara finansial untuk melakukan eksplorasi sendiri. Tetapi untuk menggarap seluruh potensi sumber daya guna menunjukkan kemerdekaan kita di bidang energi, sepertinya belum sanggup.

Selain membutuhkan dana yang lebih besar, perusahaan dalam negeri perlu tumbuh lebih kuat, baik dari sisi finansial maupun teknologi.

Salah satu gagasan untuk memperkuat perusahaan dalam negeri adalah dengan menggabungkan mereka, agar kemampuan pembiayaannya meningkat. Ini meniru langkah Vale S.A (Brasil).

Awalnya, raksasa pertambangan ini adalah perusahaan negara. Lalu bertransformasi menjadi perusahaan swasta nasional yang kuat, dan selanjutnya menjadi perusahaan multinasional yang terpandang.

Ada tiga fase yang dijalankan Vale sehingga menjadi perusahaan transnasional. Pertama adalah melakukan konsolidasi internal perusahaan, dengan mengamputasi bisnis yang bukan inti, seperti bisnis kayu pulp.

Sejalan dengan fase itu, Vale memperkuat lini bisnis inti mereka yakni pertambangan bijih besi. Karena itu, dalam fase berikutnya mereka giat mengakuisisi hampir semua perusahaan tambang bijih besi di Brasil. Jika perusahaan tersebut sahamnya dikuasai asing, Vale pun membeli saham tersebut.

Maka, Vale pun menjadi perusahaan pertambangan bijih besi terbesar di Brasil. Boleh dibilang, seluruh tambang mineral di Brasil dikerjakan oleh Vale.

Setelah kuat di internal perusahaan dan di dalam negeri, Vale tak ingin hanya bergantung pada tambang bijih besi. Mereka ingin merambah pertambangan mineral lainnya. Perusahaan raksasa internasional pun menjadi incarannya. Inco, Kanada lalu disabetnya. Vale pun memiliki pertambangan nikel di banyak negara.

Langkah Vale tentu tak berhenti hingga di situ. Tentakel gurita bisnis tambang Vale juga merambah Australia dan China, setelah membeli sebuah perusahaan tambang batu bara setempat. Di Afrika pun Vale beroperasi melalui sebuah perusahaan emas di Mozambik.

Sedangkan di Indonesia, Vale hadir melalui PT Inco Tbk. Kemana pun Vale hadir, tentu tetap mengibarkan identitas nasional Brasil.

Gaya Vale itu tak ada salahnya bila diadopsi perusahaan negara Indonesia. Kita sudah rindu melihat Pertamina berkibar di banyak negara. Atau melihat PT Aneka Tambang meladang juga di negara lain.

Pendek kata, kita rindu Merah Putih berkibar di dunia pertambangan internasional. Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar